KONSEP KEPEMIMPINAN YANG EFEKTIF DAN EFISIEN

KONSEP KEPEMIMPINAN YANG EFEKTIF DAN EFISIEN


KONSEP KEPEMIMPINAN YANG EFEKTIF DAN EFISIEN
A.    Konsep Kepemimpinan
Konsep kepemimpinan pada dasarnya berasal dari kata “pimpin” yang artinya bimbing atau tuntun. Dari kata “pimpin” melahirkan kata kerja “memimpin” yang artinya membimbing atau menuntun dan kata benda “pemimpin” yaitu orang yang berfungsi memimpin, atau orang yang membimbing atau menuntun. Sedangkan kepemimpinan yaitu kemampuan seseorang dalam mempengaruhi orang lain dalam mencapai tujuan.
Adapun dalam pengertiannya, menurut Gibson mengatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu usaha menggunakan suatu gaya mempengaruhi dan tidak memaksa untuk memotivasi individu dalam mencapai tujuan. Menurutnya, kepemimpinan melibatkan penggunanaan pengaruh dan semua hubungan dapat melibatkan kepemimpinan.
Sedangkan menurut Yulk, mengatakan bahwa kepemimpinan adalah sebagai proses mempengaruhi, yang mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa bagi para pengikut, pilihan dari sasaran-sasaran bagi kelompok atau birokrasi, pengorganisasian dari aktivitas-aktivitas kerja untuk mencapai sasaran tersebut, motivasi dari para pengikut untuk mencapai sasaran, pemeliharaan hubungan kerja sama dan teamwork, serta perolehan dukungan dan kerja samadari orang-orang yang berada diluar kelompok atau birokrasi.[1]
Pendapat lain berasal dari Koontz yang mendefinisikan kepemimpinan sebagai pengaruh, seni atau proses mempengaruhi orang-orang sehingga mereka akan berusaha dalam mencapai tujuan kelompok dengan kemauan dan antusias. Robins mendefinisikan bahwa kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kelompok dalam mencapai tujuan organisasi.[2]


Secara historis terdapat tiga konsep kepemimpinan,[3] yakni :
1.      Konsep kepemimpinan yang mendasarkan pendekatan sifat.
Konsep ini menguraikan dari sudut sifat pribadi seorang pemimpin. Pada masa lalu, bahkan sampai sekarang, seorang pemimpin biasanya memiliki sifat berani.
2.      Konsep kepemimpinan yang mendasarkan pendekatan pada situasi.
Konsep ini lebih menekankan bahwa kunci efektivitas kepemimpinan seseorang terletak pada situasi dimana seorang pemimpin menjalankan kegiatannya.
3.      Konsep kepemimpinan yang mendasarkan pendekatan aktifitas sosial.
Konsep ini menekankan sifat hubungan antara pemimpin dengan pengikutnya.

B.     Konsep Efektif dan Efisien
Menurut Peter Drucker, efesiensi berarti “melakukan kerja dengan benar” dan efektivitas berarti “melakukan pekerjaan yang benar”. Efisiensi adalah suatu kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan benar, yakni menyangkut konsep “input-output”.[4]
Sementara itu, Heinz Weihrich dan Harold Koontz mendefinisikan efektif adalah pencapaian sebuah tujuan atau sasaran. Sedangkan efisien adalah pencapaian sebuah sasaran akhir dengan memakai jumlah sumberdaya yang paling sedikit.[5]



C.     Fungsi Kepemimpinan
Aspek ini terkait dengan fungsi-fungsi yang akan mendukung tercapainya tim yang efektif sehingga manajemen dapat dijalankan secara efektif dalam mencapai tujuan. Terdapat dua fungsi yang terkait dengan hal ini, yaitu fungsi yang terkait dengan tugas atau pekerjaan (task related function), dan fungsi yang terkait dengan hubungan sosial atau pemeliharaan kelompok (group maintenance functions).
Fungsi yang terkait dengan tugas atau pekerjaan memfokuskan fungsi kepemimpinan dalam menjalankan berbagai pekerjaan atau tugas yag telah direncanakan dalam suatu organisasi. Dengan demikian kepemimpinan yang efektif adalah ketika pemimpin mampu mempengaruhi orang-orang untuk dapat melakukan tugas-tugas yang telah dipercayakan kepada mereka. Adapun fungsi-fungsi yang terkait dengan hubungan sosial atau pemeliharaan kelompok memfokuskan fungsi kepemimpinan dalam upaya untuk senantiasa memelihara kesatuan diantara sesama pekerja, pengertian dengan dan sesama mereka. Dengan demikian pemimpin yang efektif adalah ketika pemimpin tersebut mampu berkomunikasi dengan baik dengan tim kerja.[6]

D.    Indikator Pemimpin Efektif dan Efisien
Pemimpin adalah seorang yang berperilaku untuk mengarahkan aktifitas kelompok atau group ke tujuan yang diinginkan. Dengan demikian, seorang pemimpin (leader) adalah seorang manager yang efektif. Salah satu pendekatan yang dianggap tepat dalam melihat indikator pemimpin yang efektif adalah dengan melihat peran-peran yang dimainkan oleh seorang pemimpin.


Adapun peran-peran dari seorang pemimpin yang dimaksud adalah sebagai berikut[7] :
1.      Sebagai Figur
Seorang pemimpin dituntut untuk dapat berperan sebagai simbol bagi organisasi yang dipimpinnya. Tatkala pemimpin diperlukan untuk menjalankan sejumlah kewajiban rutin yang bersifat legal dan sosial, maka keberadaan dan kehadiran seorang sangatlah diharapkan.
2.      Sebagai pemimpin (leader)
Tugas sebagai pemimpin adalah bertanggung jawab untuk memotivasi dan mengaktifkan bawahan: bertanggung jawab untuk mengisi posisi yang kosong (staffing), melatih, dan tugas-tugas yang terkait. Pemimpin dianggap efektif, apabila mampu membawa karyawannya menuju suatu kesuksesan.
3.      Sebagai penghubung (liasion)
Tugas utama yang dilakukan pemimpin sebagai penghubung adalah memelihara suatu jaringan yang berkembang sendiri yang memberikan dukungan dan informasi.
4.      Sebagai Pengamat (monitoring)
Peran sebagai monitor menuntut seorang pemimpin untuk selalu aktif mencari informasi yang dapat bermanfaat untuk organisasi.
5.      Sebagai pembagi Informasi (disseminator)
Sebagai kelanjutan dari perannya sebagai monitor, pemimpin perlu meneruskan informasi yang diterima dari pihak luar atau dari bawahan kepada anggota organisasi.
6.      Sebagai Juru Bicara (spokesperson)
Peran juru bicara memposisikan pemimpin sebagai wakil organisasi dalam menyampaikan informasi ke pihak luar.
7.      Sebagai Wirausaha (enterpreneur)
Dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup organisasi, pemimpin perlu bertindak sebagai wirausaha. Yaitu, mencari kesempatan-kesempatan dalam organisasi dan lingkungannya serta memprakarsai proyek-proyek perbaikan untuk menimbulkan perubahan-perubahan.
Adapun  menurut Anton, peran-peran pemimpin adalah[8]:
1.      Pemimpin adalah pelaku pertama yang memberikan contoh dalam melaksanakan berbagai tugas atau program yang telah direncanakan dan disepakati bersama.
2.      Pemimpin memiliki wawasan yang luas dalam merencanakan berbagai program dan membicarakannya dengan semua stafnya.
3.      Pemimpin yang membuat rencana juga memiliki kepandaian yang profesional tentang semua yang ia rencanakan sehingga ia sebagai seorang yang ahli di bidangnya.
4.      Pemimpin harus berperan sebagai representasi dari semua bawahannya. Citra sebuah organisasi, keluarga, bangsa dan negara, termasuk lembaga pendidikan, berada di tangan pemimpinnya.
5.      Pemimpin berperan sebagai pengontrol dan pengawas semua aktivitas bawahannya.
6.      Pemimpin bersikap tegas dan konsekuen dengan janji-janjinya sehingga bawahannya menaruh kepercayaan besar terhadapnya.
7.      Pemimpin tidak melakukan penghakiman kepada bawahannya, tetapi bertindak moderat, menjadi penengah yang memberikan peluang bagi bawahannya untuk melakukan berbagai perbaikan.
8.      Pemimpin berperan sebagai akar yang menguatkan eksistensi institusi dan bawahannya. Pemimpin seperti ini adalah pemimpin yang populis.
9.      Pemimpin adalah sebagai pemegang peran utama yang bertanggung jawab terhadap semua kinerja bawahannya.
Seorang peneliti, Edwin Ghiselli, dalam penelitian ilmiahnya telah menunjukkan sifat-sifat tertentu yang tampaknya penting untuk kepemimpinan efektif. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut[9]:
1.      Kemampuan dalam kedudukannya sebagai pengawas (supervisory ability) atau pelaksanaan fungsi-fungsi dasar manajemen, terutama pengarahan dan pengawasan pekerjaan orang lain
2.      Kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaan, mencakup pencarian tanggung jawab dan keinginan sukses.
3.      Kecerdasan, mencakup kebijakan, pemikiran kreatif dan daya pikir.
4.      Ketegasan (decisiveness), atau kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan dan memecahkan masalah-masalah dengan cakap dan tepat.
5.      Kepercayaan diri, atau pandangan terhadap dirinya sebagai kemampuan untuk menghadapi masalah.
6.      Inisiatif, atau kemampuan untuk bertindak tidak tergantung, mengembangkan serangkaian kegiatan dan menemukan cara-cara baru dan inovatif.
Sedangkan Keith Devis mengikhtisarkan 4 ciri/sifat utama yang mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan kepemimpinan organisasi[10]:
1.      Kecerdasan
2.      Kedewasaan dan keluasan hubungan sosial
3.      Motivasi diri dan dorongan berprestasi
4.      Sikap hubungan manusiawi.

E.     Mewujudkan Pemimpin yang Efektif dan Efisien
Dinamika kepemimpinan menimbulkan interaksi antara pemimpin dengan anggota kelompok secara timbal balik yang secara tidak langsung merupakan kondisi yang diciptakan oleh kekuatan aktif didalam lingkungan organisasi (pimpinan dan kelompok kerja). Interaksi tersebut bergantung dari dan diwarnai oleh “apa” yang akan dicapai, perilaku yang terlibat, pengetahuan dan ide mereka serta kesempatan yang ada dalam lingkungan. Aktivitas yang berulang atau rutin hanya memerlukan interaksi yang sedikit, sedangkan bila aktivitas berubah-ubah secara terus menerus oleh ide baru, memerlukan interaksi yang rumit dan besar.
Seorang pemimpin dapat dikatakan seorang pemimpin apabila ia berhasil menimbulkan pada bawahannya atau pengikutnya perasaan ikut serta, ikut bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang sedang dilaksanakandibawah pimpinannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Keikut sertaan tersebut akan lebih baik lagi apabila sesuai dengan kehendak kedua belah pihak. Oleh sebab itu seorang pemimpin harus mengesampingkan kepentingan pribadinya sebagai pengorbanan untuk mencapai tujuan yang harus diselesaikannya.
Seorang pemimpin adalah memimpin, bukan memaksa, pemimpin mendorong bawahannya agar mencapai sasaran atau target seoptimal mungkin walaupun kadang-kadang bawahannya tidak percaya dapat mencapainya. Dalam hal ini pemimpin harus mengetahui karakter bawahan, mengetahui hak dan kebutuhan mereka dengan sungguh-sungguh serta mau menjalankan dan mencapainya dengan sungguh-sungguh. Pemimpin harus memiliki kemampuan untuk membangkitkan emosional daripada bawahan.[11]
Menurut Mahendra, untuk menjadi pemimpin yang efektif adalah sebagai berikut[12]:
1.      Selalu bertindak untuk menemukan dan mendeteksi tanda-tanda ataupun kemungkinan akan terjadinya perubahan dan/atau hambatan yang diperkirakan muncul pada hari ini dan pada waktu yang akan datang. Kemudian mencari dan melakukan tindakan dan pencegahan yang terbaik.
2.      Selalu mau belajar dan bertindak dengan menyesuaikan diri dalam setiap kondisi (perubahan), serta menerima dan menjadikannya sebagai hal yang bermanfaat bagi perbaikan keputusan maupun tindakan.
3.      Selalu berusaha menetapkan sasaran dan standar yang tinggi, jelas, dan wajar untuk dicapai.
4.      Selalu rasional dalam bertindak maupun dalam mengambil keputusan tanpa meninggalkan intuisi positif yang ada.
5.      Bisa memberikan dan mendukung terciptanya suasana kerja (tim kerja dan/atau kelompok kerja) yang tepat dan nyaman, dengan tindakan yang meyakinkan dan tepat, teladan yang jelas, konsisten, jujur dan patut dicontoh.
6.      Peka dan mengenal dengan baik motivasi positif dari tim/stafnya, sehingga menggugah setiap anggota tim untuk bekerja dengan antusias, penuh gairah dan memainkan peranan yang penuh dalam mencapai sasaran organisasi secara keseluruhan.
Kepemimpinan efektif terjadi manakala bawahan merespons karena ingin melakukan tugas dan menemukan kompensasinya, tetapi dari otoritas yang mempribadi, lalu bawahan menghormati, patuh dan taat kepada manajer, dan senang hati bekerja sama dengannya, kemudian merealisasikan bahwa permintaan manajer konsisten dengan beberapa tujuan pribadi bawahan.
Kepemimpinan yang efektif menurut Chemers banyak bergantung pada beberapa variabel, seperti kultur organisasi, sifat dai tugas dan aktivitas kerja, dan nilai serta pengalaman manajerial.determinan yang mempengaruhi efektivitas kepemimpinan mencakup kepribadian, pengalaman masa lampau, dan harapan dari atasan; kepribadian dan perilaku atasan; karakteristik, harapan, dan perilaku bawahan; persyaratan tugas, kultur dan kebijakan organisasi; harapan serta perilaku rekan sekerja.[13]
Kepemimpinan yang diharapkan tentu disamping integritas kepribadian, dituntut pula memiliki kepekaan (pesponsiveness) terhadap kepentingan masyarakat dan masalah yang dihadapi masyarakat, kemampuan memecahkan masalah serta kemampuan mengambil keputusan yang tepat.
Dalam kaitan kepemimpinan yang efektif tentu memiliki komitmen dalam pemahaman dan penghayatan serta pengamalan norma-norma atau etika profesi dibidangnya. Sejauh ini pancasila merupakan landasan etika di dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat sudah tidak lagi perlu doperdebatkan.[14]

F.      Penyakit Kepemimpinan
Dalam memengaruhi transformasi organisasi melalui perubahan budaya, mengubah pola pikir pemimpin lebih dahulu merupakan hal yang penting. Untuk itu, kita harus memahami penyakit dari kepemimpinan.
1.      Pemimpin yang tidak mendengarkan
Penyakit kepemimpinan terbesar adalah ketika pemimpin menolak untuk mendengarkan. Terdapat pemimpin yang menolak nasihat yang baik, mereka yang menutup orang lain untuk memberi saran atau gagasan yang baik dan mereka yang sangat dikuasai oleh gagasannya sendiri yang tidak mempertimbangkan pandangan lainnya, kecuali pendapatnya sendiri.
2.      Pemimpin yang tidak mempraktikan apa yang dikatakan
Kesalahan besar lain adalah kecenderungan menjadi munafik. Banyak yang mengatakan sesuatu tapi tidak melakukannya. Mereka tidak membuat baik janjinya dan mereka kelihatan tidak konsisten dan tidak berprinsip.
3.      Pemimpin yang mempraktikkan Favoritisme
Pemimpin cenderung memperlakukan beberapa staf lebih baik dari lainnya.
4.      Pemimpin yang mengintimidasi orang lain
Pemimpin sering mengunakan kekuasaannya dan mengintimidasi bawahannya.
5.      Pemimpin yang mendemoralisasi orang lain
Pemimpin menjatuhkan orang pada setiap kesempatan. Mereka hidup dengan menginjak ego orang lain. Pemimpin tidak memberikan pujian dengan mudah, tetapi cepat mengkritik. Mereka sering sinis dan curiga atas atas maksud dari bawahannya.
6.      Pemimin yang gagal menciptakan arah
Pemimpin yang terus berjalan tanpa mengambil pertimbangan perubahan lingkungan akan menyebabkan ketidakpastian dan ketakutan di tempat kerja, yang pada gilirannya memengaruhi moral staf dan kinerja.
7.      Pemimpin yang tidak mengembangkan orangnya
Pemimpin yang tidak melihat perlunya men-coach  dan men-train orang lain.
8.      Pemimpin yang merasa puas dengan dirinya.
Kesalahan terbesar dalam kepemimpinan di samping kurangnya kompetensi adalah complacency atau merasa puas dengan dirinya sendiri.[15]






DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo. Manajemen Pemerintah Daerah. 2011. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Amirullah dan Haris Budiono. Pengantar Manajemen. 2004. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Athoillah, Anton. Dasar-dasar Manajemen. 2010. Bandung: Pustaka Setia.
Bangun, Wilson. Intisari Manajemen. 2008. Bandung: Refika Aditama.
Guswai, F. Christian. How to Operate Your Store Effectively Yet Efficiently. 2007. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Handoko, Hani. Manajemen. 2003. Yogyakarta: BPFE.
Pasolong, Harbani. Kepemimpinan Birokrasi. 2013. Bandung: Alfabeta.
Silalahi, Ulbert. Studi Tentang Ilmu Administrasi. 2011. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Siswanto. Pengantar Manajemen. 2011. Jakarta: Bumi Aksara.
Sule, Ernie Tisnawati, dan Kurniawan Saefullah. Pengantar Manajemen. 2005. Jakarta: Kencana.
Surjadi. Pengembangan Kinerja Pelayanan Publik. 2012. Bandung: Refika Aditama.
Syah, Mahendra Sultan. Manajemen Proyek. 2004. Jakarta: Gramedia.
Umar, Husein. Bussiness An Introduction. 2003. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wibowo. Manajemen Perubahan. 2012. Jakarta: Rajawali.



[1] Pasolong, Harbani. Kepemimpinan Birokrasi. 2013. Bandung: Alfabeta. Hlm. 1
[2] Bangun, Wilson. Intisari Manajemen. 2008. Bandung: Refika Aditama. Hlm. 131.
[3] Adisasmita, Rahardjo. Manajemen Pemerintah Daerah. 2011. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hlm. 170
[4] Umar, Husein. Bussiness An Introduction. 2003. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 73
[5] Guswai, F. Christian. How to Operate Your Store Effectively Yet Efficiently. 2007. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hlm. 2
[6]Sule, Ernie Tisnawati, dan Kurniawan Saefullah. Pengantar Manajemen. 2005. Jakarta: Kencana. Hlm. 259
[7] Amirullah dan Haris Budiono. Pengantar Manajemen. 2004. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hlm. 269-273
[8] Athoillah, Anton. Dasar-dasar Manajemen. 2010. Bandung: Pustaka Setia. Hlm. 211
[9] Handoko, Hani. Manajemen. 2003. Yogyakarta: BPFE. Hlm. 297.
[10] Ibid.
[11] Silalahi, Ulbert. Studi Tentang Ilmu Administrasi. 2011. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Hlm. 188
[12] Syah, Mahendra Sultan. Manajemen Proyek. 2004. Jakarta: Gramedia. Hlm. 34
[13] Siswanto. Pengantar Manajemen. 2011. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm. 165
[14] Surjadi. Pengembangan Kinerja Pelayanan Publik. 2012. Bandung: Refika Aditama. Hlm. 101
[15] Wibowo. Manajemen Perubahan. 2012. Jakarta: Rajawali. Hlm. 353-357
ASAS-ASAS PELAYANAN PUBLIK

ASAS-ASAS PELAYANAN PUBLIK


Asas-Asas Pelayanan Publik
Pelayanan publik dilakukan tiada lain untuk memberikan kepuasan bagi pengguna jasa, karena itu penyelenggaraannya secara niscaya membutuhkan asas-asas pelayayanan. Dengan kata lain, dalam memberikan pelayanan publik, instansi penyedia pelayanan publik harus memperhatikan asas pelayanan publik.
Asas-asas pelayanan publik menurut Keputusan Menpan Nomor 63/2003 sebagai berikut:
  1. Transparansi.
Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
  1. Akuntabilitas.
Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Kondisional.
Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efi51ensi dan efektivitas.
  1. Partisipatif.
Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.
  1. Kesamaan Hak.
Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender dan status ekonomi.
  1. Keseimbangan Hak dan Kewajiban.
Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Sedangkan menurut Pasal 4 UU No. 25/2009, penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan:
  1. Kepentingan umum;
  2. Kepastian hokum;
  3. Kesamaan hak;
  4. keseimbangan hak dan kewajiban;
  5. keprofesionalan;
  6. partisipatif;
  7. persamaan perlakuan/ tidak diskriminatif;
  8. keterbukaan;
  9. akuntabilitas;
  10. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
  11. ketepatan waktu; dan
  12. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.



Sumber Referensi:
Hardiansyah, Kualitas Pelayanan Publik Konsep Dimensi dan Implementassinya. Yogyakarta: Gava Media. 2011.  Hlm 24-25

Pengertian Pelayanan Publik




PENGERTIAN PELAYANAN PUBLIK

Teori ilmu administrasi negara mengajarkan bahwa pemerintahan negara pada hakikatnya menyelengarakan dua jenis fungsi utama, yaitu fungsi pengaturan dan fungsi pelayanan. Fungsi pengaturan biasanya dikaitkan dengan hakikat negara modern sebagai suatu negara hukum (legal state), sedangkan fungsi pelayanan dikaitkan dengan negara sebagai suatu negara kesejahteraan (welfare state).
Menurut KBBI, pelayanan memiliki makna, (1) perihal atau cara melayani; (2) usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh imbalan (uang); (3) kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa. Pengertian pelayanan (service) menurut American Marketing Association, seperti dikutip oleh Donald (1984:22) bahwa pelayanan pada dasarnya adalah merupakan kegiatan atau manfaat yang ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain dan pada hakikatnya tidak berwujud serta tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu, proses produksinya mungkin juga tidak dikaitkan dengan suatu produk fisik.
Istilah lain yang sejenis dengan pelayanan itu adalah pengabdian dan pengayoman. Dari seorang administrator diharapkan akan tercermin sifat-sifat memberikan pelayanan publik, pengabdian kepada kepentingan umum dan memberikan pengayoman kepada masyarakat lemah dan kecil. Administrator akan lebih menekankan pada mendahulukan kepentingan masyarakat/umum dan memberikan service kepada masyarakat ketimbang kepentingan sendiri (Thoha, 1991:176-177).
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003, definisi dari pelayanan umum adalah: segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah dipusat, didaerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang dan jasa baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat  maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Mengikuti definisi diatas, pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggungjawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah dipusat, di daerah, dan dilingkungan BUMN dan BUMD, dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2007:4-5).
Menurut Departemen Dalam Negeri “Pelayanan Publik atau Pelayanan Umum  adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal tercipta kepuasan dan keberhasilan.
Sedangkan menurut UU Nomor 25 Tahun 2009, Bab I, Pasal I, Ayat (1), pengertian pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dari beberapa pengertian pelayanan publik diatas dalam pemerintahan daerah dapat disimpulkan sebagai pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat dan atau organisasi lain yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu, sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan ditunjukan untuk memberikan kepuasan kepada penerima pelayanan.
Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Dengan demikian pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentiongan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sementara itu, kondisi masyarakat saat ini telah terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat (Thoha, 2001:41). Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin berani untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintahannya.[1]
Secara sederhana kebijakan publik adalah segala sesuatu yang diputuskan oleh pemerintah untuk dikerjakan maupun tidak dikerjakan. Pemerintah memutuskan untuk ikut mengelola sektor pertanian, terutama menetapkan harga beras, minyak goreng, cengkeh dan tebu. Pada saat yang sama memutuskan untuk tidak mengelola sayur mayur, buah-buahan, dan kentang. Dalam perspektif kebijakan, hal-hal yang dipilih untuk dikerjakan oleh pemerintah dinilai bersifat strategis, baik dari sudut politik maupun ekonomi. Konsekuensi dari keputusan pemerintah tersebut adalah perubahan dalam permintaan dan penawaran barang dan jasa publik. Berdasarkan pemikiran ini, pelayanan publik adalah pengadaan barang dan jasa publik, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun nonpemerintah.

Secara ekstrem terdapat dua jenis barang, yaitu barang publik (public good) dan barang swasta (private good). Barang publik adalah barang yang penggunaannya memiliki ciri nonrivalry seperti udara, jalan, jembatan, dan sebagainya. Adapun barang swasta dicirikan oleh adanya rivalitas, seperti baju, sepatu dan lain-lain. Baik barang publik maupun privat di sektor permintaan (demand) ditentukan oleh selera konsumen. Bedanya, apabila barang swasta sektor persediaan (supply) ditentukan oleh produsen yang bertujuan mencari untung (profit motive), persediaan barang publik ditetapkan melalui proses politik. Di antara keduanya terdapat barang swasta yang memiliki nilai strategis, sehingga mengundang campur tangan pemerintah untuk mengelolanya. Misalnya, pangan, industri pupuk, industri kimia, industri otomotif, dan sebagainya. Di sisi lain juga terdapat barang publik di mana swasta tertarik untuk mengelolanya seperti jalan tol, sampah, air minum, dan seterusnya. Pengantar ini menunjukkan bahwa pelayanan publik memiliki masalah sosial, ekonomi, dan politis. Manakah yang akan dilakukan oleh pemerintah, sangat tergantung pada arti barang dan jasa tersebut bagi pemerintah. Semakin strategis arti barang dan jasa bagi pemerintah, semakin besar intervensi pemerintah dalam produksi, distribusi, dan alokasinya.[2]





Sumber Referensi :
[1]Hardiansyah, Kualitas Pelayanan Publik Konsep Dimensi dan Implementassinya. Yogyakarta: Gava Media. 2011. Hlm 10-15
[2] Lijan Poltak Sinambela, Lijan. Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta. Bumi Aksara. 2006. Hlm 14

Kategori

Kategori